JAKARTA, KRONOLOGIS.ID – Program pengiriman pelajar bermasalah ke barak militer yang digagas Pemerintah Daerah Jawa Barat menuai polemik. Di tengah pro dan kontra publik, Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai angkat bicara dan menyebut bahwa kebijakan tersebut tidak melanggar prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).
Pigai yang juga mantan Ketua Komnas HAM menegaskan, program ini tidak bisa dikategorikan sebagai hukuman fisik atau corporal punishment, melainkan bentuk pendidikan karakter dan pembinaan mental anak.
“Apa yang dilakukan Pemda Jabar bukan corporal punishment, tapi bagian dari pembentukan karakter, mental dan tanggung jawab anak. Maka tentu tidak menyalahi standar Hak Asasi Manusia,” kata Natalius Pigai dalam keterangannya di Jakarta, belum lama ini.
Ia menjelaskan, corporal punishment didefinisikan sebagai tindakan yang menggunakan kekerasan fisik untuk menimbulkan rasa sakit atau ketidaknyamanan sebagai bentuk hukuman, seperti memukul, menampar, atau menggunakan benda keras.
“Yang dilakukan Pemda Jabar jelas berbeda. Selama pembinaan itu bersifat mental dan karakter, maka masih sesuai prinsip HAM,” ujar Pigai.
Namun berbeda dengan Pigai, Komnas HAM justru memberikan pandangan yang lebih kritis terhadap kebijakan Gubernur Jabar Dedi Mulyadi tersebut. Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menilai, pelibatan TNI dalam program pembinaan pelajar perlu ditinjau kembali.
“Sebetulnya itu bukan kewenangan TNI untuk melakukan edukasi-edukasi civic education. Mungkin perlu ditinjau kembali, rencana itu maksudnya apa,” ujar Atnike di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Jumat (2/5/2025).
Atnike juga mengingatkan bahwa program tersebut berpotensi menyalahi prosedur hukum karena mengandung unsur penghukuman tanpa dasar hukum yang jelas.
“Itu proses di luar hukum kalau tidak berdasarkan hukum pidana bagi anak di bawah umur,” tegasnya.
Diketahui, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menggagas program pembinaan pelajar nakal melalui pelatihan kedisiplinan di barak militer, sebagai langkah alternatif mengatasi kenakalan remaja.
Namun, hingga saat ini, kebijakan tersebut masih memicu perdebatan di kalangan publik, lembaga HAM, serta para pemerhati pendidikan anak.